Berita


Budaya Literasi di Tengah Arus Informasi Digital

Saat penulis sedang membaca koran di perpustakaan sekolah, rekan penulis nyeletuk, “perasaan saya, hanya sampean yang baca koran di sekolah kita. Memangnya masih banyak orang membaca koran di jaman internet saat ini?”

            Lalu saat itu juga penulis jadi ingat pada sebuah lagu Jawa yang sedang hits. Judulnya “mendung tanpo udan”, tidak ada hubungannya dengan koran yang sedang kami diskusikan pada saat itu. Tapi, lagu itu memuat lirik tentang mimpi di masa depan sepasang kekasih,  “Awak dewe tau duwe bayangan - Besok yen wes wayah omah-omahan - Aku moco koran sarungan - Kowe blonjo dasteran – Kita pernah punya bayangan - Besok kalau sudah berumah tangga - Aku membaca koran sarungan , kamu belanja dasteran”.

            Ternyata, pagi-pagi membaca koran bagi sebagian orang tetap menjadi “sesuatu” yang mewah dan simbol kemapanan. Karena lagu di atas bukan lagu lawas, maka keberadaan internet tidak akan serta merta menenggelamkan keberadaan koran di dunia informasi. Terbukti, simbol kemapanan kegiatan di pagi hari adalah membaca koran sambil ditemani secangkir kopi atau teh.

            Apa faktanya saat pagi hari orang masih punya  waktu untuk membaca koran kertas? Faktanya, jumlah koran makin sedikit. Menurut catatan Dewan Pers, di bulan Juni tahun 2021 ada tidak kurang dari 43 ribu media online di Indonesia. Itu artinya, pembaca koran “konvensional” kian menyusut dan orang beralih ke media online. Namun, menurut AC Nielsen di awal tahun 2021 menunjukkan trend bertumbuhnya pembaca koran, terutama pada koran-koran besar, seperti Jawa Pos, Kompas, Pikiran Rakyat dan beberapa koran besar lainnya. Sehingga perusahaan persuratkabaran memiliki keyakinan bahwa “ koran akan terus ada sebagai pemenuhan atas kebutuhan penting hidup bermasyarakat”.

            Penulis yakin koran memiliki pangsa pasar fanatiknya. Kalaupun ada penurunan jumlah pembaca koran kertas, namun tidak akan pernah lenyap dari muka bumi selama ada kehidupan. Jelas koran memiliki beberapa kelebihan, meski tetap juga memiliki kelemahan. Membaca koran terasa lebih santai dan memiliki lapang pandang baca yang luas. Saat membaca koran kita tidak akan khawatir kehabisan kuota internet sehingga bisa membaca berita sampai tuntas.

            Tradisi membaca  di masyarakat kita, harus diakui masih rendah. Lemahnya budaya literasi berpangkal pada belum optimalnya gerakan literasi dikalangan pelajar. Ditengah hegemoni informasi digital, pelajar di negeri ini semakin jarang membaca bacaan berkualitas. Perpustakaan sekolah lebih sering kosong dari kunjungan peserta didik. Peserta didik hanya akan mengunjungi perpustakaan bila ada tugas sekolah yang memerlukan referensi bacaan dari buku yang ada diperpustakaan.  Berdasarkan hasil studi PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018, skor Indonesia untuk kemampuan membaca masih berada di level rendah, yaitu 371. Peringkat pertama untuk kemampuan membaca ini diraih oleh China dengan skor 555. PISA merupakan sistem penilaian secara internasional yang menitikberatkan pada kemampuan anak usia 15 tahun dalam bidang literasi membaca, literasi matematika, dan literasi di bidang sains.

            Baru-baru ini Kementrian Pendidikan dan Kebudaayaan, Riset dan Teknologi melakukan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) atau Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) mulai dari tingkatan SD sampai SMA sederajat. Hasilnya asesmen tersebut belum dirilis ke publik karena kegiatannya belum berakhir. Salah satu tujuan asesmen tersebut adalah memetakan kemampuan literasi dan numerasi pelajar Indonesia. Penulis memiliki kekhawatiran terhadap hasil asesmen tersebut yang akan menjadi pembenar rendahnya kemampuan literasi dan numerasi pelajarar kita secara nasional.

            Perlu langkah-langkah strategis menumbuhkan kembali budaya baca dimasyarakat kita, khususnya di kalangan pelajar. Pelajar kita saat ini, minim sekali minat membacanya –kalau tidak mau dikatakan musnah. Mereka (remaja/pelajar), terjerat jebakan game online dan medsos yang adiktif, seperti Tik Tok, Youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook, atau sederet permainan online. Remaja kita saat ini sangat produktif menulis dan membaca hanya di ruang media sosial. Bisa ditanya, sudah berapa buku yang mereka baca dalam sebulan terakhir? Atau, dalam setahun ini pernahkah membaca artikel di koran atau majalah? Jawabannya bisa ditebak, pasti sebagian besar nihil.

            Meski tak mudah, merestorasi budaya baca di masyarakat penulis yakin  bisa dilakukan. Mulai dari keluarga, sekolah, komunitas peduli membaca, dan pemerintah. Sinergi dari semua elemen sangat diperlukan untuk mengembalikan budaya baca di masyarakat. Dimulai dari pembiasaan di keluarga, misalnya orang tua menyediakan buku-buku yang menarik untuk dibaca anak-anak dan remaja di rumah. Upaya revitalisasi fungsi perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum perlu terus dilakukan. Perpustakaan jangan hanya sekedar menjadi tempat membaca dan meminjam buku, tapi harus didesain ulang agar menjadi tempat yang nyaman baik untuk membaca maupun kegiatan literasi yang lain, misal diskusi, bedah buku, atau pameran buku.

            Dalam membangun budaya literasi yang positif di sekolah, terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah: mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi, mengupayakan lingkungan sosial dan afektif, mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademis yang literat. Implementasi dari strategi itu antara lain dengan memajang karya peserta didik di semua area sekolah dan diganti secara rutin. Akses yang mudah  terhadap bahan bacaan bagi semua peserta didik tidak hanya di perpustakaan, tapi juga melalui sudut baca di ruang-ruang kelas. Pemberian penghargaan kepada peserta didik terhadap capaian literasi adalah bagian penting untuk terus menumbuhan minat literasi di kalangan peserta didik, misalnya melalui festival buku, lomba mendongeng, atau lomba menulis cerita pendek. Juga, sekolah harus menyediakan waktu yang cukup untuk menumbuhkan budaya literasi. Misalnya, mewajibkan semua mata pelajaran untuk menyediakan waktu 10 menit untuk membaca buku pelajaran sebelum pelajaran dimulai.

             Optimisme akan terus berkembangnya budaya literasi di kalangan peserta didik harus terus ditumbuhkan. Pasalnya pemerintah sangat concern dengan upaya peningkatan kompetensi literasi dan numerasi di kalangan peserta didik. Berbagai program sudah dijalankan oleh pemerintah untuk mendongkrak kemampuan literasi di kalangan peserta didik. Hal yang sama juga banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat untuk memantik nyala budaya literasi dikalangan generasi muda. Arus informasi digital memang tidak bisa dicegah, namun harus diimbangi dengan peningkatan kemampuan literasi masyarakat yang dimulai dari generasi mudanya. Harapannya, kecerdasan literasi masyarakat bisa memfilter mereka dari informasi-informasi yang tidak berdasarkan fakta (hoax). Semoga ! (Wahyudi Oetomo, S.Pd.)

*) Penulis guru SMPN 1 Kamal

 

Kontak

Alamat :

Jl. Banyuajuh No.5

Telepon :

(031)3011026

Email :

smpnegeri1kamal@gmail.com

Media Sosial :

Banner